5 Hal Tentang Emphaty Gap, Kenapa Penting?
- Resvia Afrilene
- Apr 8, 2020
- 7 min read
Updated: Apr 15, 2020

1. Empathy Gap Ada di Keseharian Kita
Sadly, we are still in the quarantine period. How’s life guys? Tapi jangan sedih, harus tetap semangat dan jaga kesehatan selalu ya. Yang justru bikin aku sedih adalah banyaknya kemirisan akibat fenomena pandemi COVID-19 ini. Salah satunya adalah terkikisnya empati diantara kita. Kalian merasakan nggak sih? Nih ya aku kasih contoh. Soal polemik mudik atau pulang kampung. Banyak penduduk pendatang yang memilih pulang ke kampung halaman mereka karena nasibnya terkatung-katung pasca Jakarta jadi episentrum wabah Coronavirus.
Kebanyakan dari mereka memilih pulang karena situasi kelumpuhan ekonomi sangat berdampak buat mereka. Uang tak ada. Jauh dari keluarga. Keluar tempat tinggal pun tak bisa. Tak ada pilihan di kepala selain pulang kampung saja. Pertanyaanku, setuju nggak kalian mereka pada pulang? Tim yang setuju mungkin sama nasibnya. Perantau juga, yang tidak kuasa menahan konsi serba susah dan sendirian ditengah wabah yang mencekam. “Aku bisa mengerti sih kenapa mereka pulang,” kata tim yang setuju.
Nah buat kalian yang nggak setuju, pasti ada kan. Pasti kalian bakal teriak-teriak nih. “Woy, udahlah jangan balik. Kalian bisa jadi karier virus. Kalian sehat, tapi bisa jadi orang-orang yang imunnya lebih lemah dan berinteraksi sama kalian bakal kena virusnya. Kasihan orang-orang di rumah yang justru bisa sakit kalau kalian pulang.” Kayak gini kan kira-kira respon teman-teman yang nggak setuju para pemudik datang. Nah, perbedaan sikap seperti inilah yang namanya empathy gap.
Banyak banget contoh kasus empathy gap lain yang hampir selalu meliputi kejadian sehari-hari kita semua. Mulai dari hal-hal sederhana seperti marahan sama pacar karena beda persepsi soal suatu hal. Sampai ke hal-hal serius yang terjadi karena kalian tidak mampu menempatkan diri di posisi individu lawan interaksi. Contoh yang juga miris adalah peristiwa penolakan jenazah akibat Coronavirus sampai pengusiran tim medis penanganan COVID-19 dari tempat kos mereka Well, tahu nggak kalau kemampuan sosial kalian dalam memahami sebuah kondisi society seperti ini erat banget sama stabilitas psikologis orang-orang terdekat kalian. Jadi belajar yuk apa sih itu empathy gap? Why is it important for us to understand about this term?
2. Apa sih Empathy Gap ?
Pertama, kita kudu tahu dulu definisi Emphaty Gap ini sendiri apa. Sebuah jurnal oleh kelompok akademisi dari SWPS University of Social Sciences and Humanities terbitan Research Gate yang berjudul Empathy Gap: What Do We Know About Empathizing with Others Pain? Membahas soal terminologi ini. Empathy gap didefinisikan sebagai sebuah proses yang multidimensional yang membutuhkan pemahaman soal bagaimana seseorang merasa dan bertindak. Mungkin bahasa awam kita adalah sikap pengertian, tapi nggak sesederhana itu ternyata teman-teman, it’s deeper than that.
Kondisi emphaty gap ini membuat manusia kesulitan untuk menempatkan diri di posisi orang lain yang tidak satu ‘frekuensi’ dengan dia. Mereka cenderung meremehkan keputusan atau aksi yang diambil seseorang. Kalau dalam pengertiannya ada dua kata kunci. Bahwa empathy gap itu bias kognitif. Empathy gap juga meng-underestimated dorongan visceral seseorang, seperti rasa sakit, kelaparan, ketakutan, rasa sakit, gairah seksual, dan kegelisahan, dan banyak faktor lain saat dihadapkan situasi mengambil keputusan.
Misalnya dalam kasus perkosaan. Kalian mungkin pernah dengar, atau bahkan pernah melontarkan sendiri kalimat seperti ini. “Kenapa sih kamu (si korban) nggak lari saja. Kalau aku jadi kamu pasti aku tendang bagian vital dia terus kabur,” ya kayak gitulah kira-kira. Sering kan dengar kayak gini guys? This is also problem with your empathy gap. Kalian melemahkan faktor-faktor seperti ketakutan, rasa sakit, atau bahkan tubuh yang lemah korban untuk bisa melakukan itu. Tahu nggak kalau korban kekerasan seksual akan mengalami yang namanya fase tonic immobility. Menurut ilmuwan bernama Moller, tonic immobility adalah fase kelumpuhan sementara yang dialami sebagai bentuk reaksi defensif alami akibat ketakutan luar biasa.

3. Kenapa kita mengalami Empathy Gap?
Pada dasarnya, kita secara alami memang sulit untuk memahami apa yang dirasakan orang lain dibanding dengan apa yang ada dalam benak kita. Konsekuensinya, kita tidak mampu mengerti mengapa suatu hal terjadi atau menjadi pilihan dari orang lain, yang mana hal tersebut mungkin tidak akan kita pilih bila kita berpikir rasional. Misalnya, kebingungan kita terhadap sifat seseorang yang bertemperamen buruk dan mudah berkata kasar. Alasan kenapa kita mengalami yang namanya empathy gap ini adalah sifat manusia yang secara kognisi state-dependent. Artinya, cara kita memroses informasi dan membuat keputusan tergantung pada kondisi kekuatan mental yang kita miliki.
Akan sulit bagi mereka yang kelaparan memutuskan tindakan seolah mereka sedang dalam kondisi kenyang. Begitu pula sebaliknya, hal ini biasa disebut dengan underestimate atau overestimate. Overestimate artinya merasa bahwa kita mampu bertindak rasional dan penuh kontrol meskipun dalam kondisi stres. Sebaliknya, underestimate adalah fase dimana perasaan meremehkan yang mempengaruhi sebuah keputusan orang lain. Kita sering banget lo teman pena melakukan dua hal ini. Bahkan terkadang hal ini yang kerap membuat kita secara tidak langsung menyinggung orang lain.
Salah satu yang mempengaruhi kapabilitas seorang individu dalam berempati adalah kesamaan latar belakang. Sebuah penelitian oleh Gutsell dan Inzlicht pada tahun 2012 menyatakan bahwa aktivitas otak manusia lebih konsisten terhadap perasaan sedih ketika direpresentasikan oleh anggota kelompok serumpun mereka. Misalnya komunitas yang memiliki kesamaan ras, gender, dan orientasi seksual. Hal ini juga terjadi dalam responden yang memiliki persamaan kondisi psikis tertentu. Mereka yang sedang mengalami penyakit kecemasan akan bertindak tidak rasional bagi manusia yang sedang dalam kondisi mental yang normal.
4. Hot & Cold Empathy Gap
Hot Emphaty Gap dan Cold Emphaty Gap adalah keadaan yang dialami seseorang akibat situasi tertentu yang melatarbelakangi pengambilan keputusannya. Seperti yang sudah aku jelaskan di atas, masa lalu, pengalaman, kedekatan dengan obyek atau subyek tertentu, dan kondisi manusia pada titik tertentu pasti mempengaruhi empatinya. Kita ambil contoh kondisi saat ini, bicara soal dampak COVID-19, siapa sih yang paling terdampak? Ada subyek para pedagang usaha mikro atau home industry, ada pula perusahaan-perusahaan sekaliber chain hotel-hotel mewah. Mana yang lebih ngenes gara-gara Coronavirus gengs?
Ada yang bilang, sudahlah jangan dikompetisikan mana yang lebih kesulitan, semuanya sedang dalam kondisi sulit sekarang. Itu benar, tidak salah. Para pelaku UMKM pasti puyeng karena konsumen anjlok, atau bahkan nihil selama Indonesia terimbas wabah ini. Produksi makanan terganggu, acara nihil, vendor mengeluh, perumahan dan properti mandek, hotel sepi pengunjung, obyek wisata ditutup, dan banyak lini usaha lain yang pasti langsung merasakan dampaknya perputaran ekonomi lesu. Tapi coba didengar lebih detail lagi, cobalah ‘menaikan volume’ kepekaan kalian. Mana yang sekiranya lebih tidak mungkin punya tabungan? Mana kelompok yang menggantungkan nasibnya ke orang-orang di atasnya? Mana yang seharusnya paling diperhatikan pemerintah? I believe you guys have your own opinion too.
Ya, memang tidak apple-to-apple, inilah juga yang namanya hot and cold empathy gap. Dimana ada dua pihak yang akan saling kesulitan mengambil keputusan selayaknya pihak yang lain. Para pelaku UMKM Jakarta dengan latar belakang, kemampuan ekonomi, dan kondisi mental yang ketakutan akan memilih pulang kampung meski himbauan mudik dilarang. Karena apa? Mereka merasa aman di rumah sendiri, mereka tidak memiliki cukup biaya hidup, mereka tidak tahu harus bergantung ke siapa. Sedangkan para pengusaha besar, pekerja kantoran, para ASN, mungkin akan mempertanyakan keputusan para pemudik yang nekat ini. Mereka masih bisa menjamin tempat tinggal dan makanan yang memadai, mereka masih bisa mengandalkan gaji, kondisi mental.
Bahkan orang cerdas sekalipun bisa jadi misjudging kalau sedang berada dalam kondisi hot emphaty. Jadi hot empathy gap adalah saat mereka gagal menyadari betapa emosi dan faktor visceral mempengaruhi tindakan mereka. Jadi bisa dibilang pihak ini adalah kelompok yang sedang bergerak sesuai emosi impuls latar belakang mereka. Sedangkan cold empathy gap terjadi ketika seseorang dalam kondisi emosional yang netral. Mereka kesulitan mengimajinasikan kawan-kawan yang sedang dalam status hot empathy gap tadi. Intinya, dua pihak ini saling gagal untuk memahami atau memrediksi perilaku seseorang.
5. Kenapa Penting?
Nah, setelah tahu apa itu empathy gap, jenisnya, dan kenapa kita mengalaminya, sekarang kalian harus tahu juga kenapa jadi penting mempelajari ini dan bagaimana kita bisa overcome kondisi kayak gini? Pada intinya ya guys, kita semua harus berusaha saling mengerti status emosional orang-orang yang berkaitan dengan kita. Apalagi dewasa ini, kita kan bergaul dengan banyak orang, mulai dari yang usianya berbeda, rasnya beda, gender, orientasi seksual, sampai latar belakang pendidikan dan keluarganya yang beda juga. We have to acknowledge their values, not only ours. Because it will be end up as racism or sexism loh.
Memahami sejauh apa empathy gap dalam diri kalian menjadi sangat penting karena kestabilan psikis ini jadi kunci untuk meningkatkan koneksi dan upaya untuk rasa saling memahami diantara manusia. Menurutku pribadi, bullshit kalau ada orang yang mengaku mengerti perasaan kamu. Karena kita tidak akan pernah mampu menempatkan diri persis sama seperti pengalaman dan emosi seseorang. Yang kita bisa lakukan hanyalah lebih aware dan tidak memaksakan emotions state kita ke orang lain, hal ini akan membantu interaksi antara person-to-person jadi lebih hangat.
Ini hal-hal yang bisa kita lakukan bersama untuk mempersempit jarak empathy gap kita. Pertama, belajar memvisualisasikan banyak situasi emosional ketika kita melihat suatu kejadian atau fenomena, belajar meraba perasaan sendiri, apa yang bakal aku lakukan jika itu terjadi padaku, tentunya berusaha tempatkan dirimu pada situasi yang juga tak mengenakkan tersebut. Mulailah stop menghakimi diri kita bahwa kita pasti akan melakukan sebuah tindakan tertentu dengan cepat. Lihat lagi, apakah sisi hot empathy gap atau cold empathy gap yang sedang bicara.
Kedua, cobalah memikirkan apa yang akan orang lain lakukan jika dia berada dalam kondisimu. Misalnya saat kamu marahan sama pacar nih, kamu melontarkan kalimat-kalimat yang pasti akan mengecewakan dia, atau bahkan membuat dia menangis. Setelah itu pun kamu masih marah, kemungkinan besar pikiranmu akan dipenuhi dengan hal-hal negatif. Namun cobalah menempatkan diri sebagai pacar kamu. Dengan sejarah yang sudah kalian ukir bersama, apakah dia masih akan menerimamu jika kamu terus seperti itu. Jika dia memutuskan untuk pergi, apakah kamu sanggup kehilangan dia? Memposisikan dirimu layaknya dia akan mempercepat proses mental kamu jadi netral kembali. Making sure we make an active effort to relate to others rather than look at their situation solely from our own perspective could go a long way in reducing the empathy gap.
Yang terakhir guys, jangan lupakan sejarah. Rupanya hal ini pun berlaku untuk mengenal empathy gap. Mempertimbangkan masa lalu untuk mengambil sebuah keputusan ternyata masih relevan. Salah satu alasan kenapa kita mengalami empathy gap adalah fakta bahwa kita selalu mencoba mempresiksi sikap kita di masa depan, kita sering mencoba memimpikan perasaan kita, sementara kita malah mengabaikan aksi-aksi yang sudah kita lakukan di masa lalu yang sebenarnya adalah indikator reaksi nyata diri kita. Overall, the important thing to remember is this: when trying to predict your future behavior, don’t just try to imagine what you would ideally like your future behavior to be like, since the empathy gap will often cause you to overestimate the likelihood that you will actually behave that way.
Comments