Dibalik Panggung Festival Gandrung Sewu
- Resvia Afrilene
- Apr 5, 2020
- 4 min read
Festival Gandrung Sewu memang bukan kali pertama dihelat. Meski demikian, bukan berarti perhelatan itu jadi tak menantang lagi. Para penari selalu punya kisahnya masing-masing. Ada yang latihan setahun demi lolos seleksi, bahkan ada yang lawan demam 39 derajat Celcius untuk bisa tampil. Saya pernah berkesempatan nonton langsung dan mewawancarai banyak pihak yang terlibat di festival berskala internasional itu.

Suasana SDN Kepatihan Banyuwangi hiruk-pikuk Sabtu pagi (20/10). Ruang-ruang kelas bercat hijau itu terlihat penuh. Puluhan anak sedang dirias di dalamnya. Mereka sudah mengenakan busana penari gandrung. Lengkap dengan omprok, mahkota gandrung, yang ditenteng kesana-kemari penuh rasa bangga.
Sekolah yang berada di seberang Taman Blambangan itu jadi lokasi persiapan akhir Festival Gandrung Sewu. Sebab, letaknya hanya sekitar satu kilometer dari lokasi event di Pantai Boom. Tak hanya di ruang-ruang kelas saja ribetnya persiapan terasa. Berjalan mengitari area sekolah, bak dikelilingi oleh panggung gandrung. Halaman, koridor, sampai pendapa jadi tempat pemanasan ribuan penari.
"Baru pertama kali bisa ikut. Tahun lalu nggak lolos," ujar Zahra Bina Dina, salah satu penari yang tengah dirias. Dia terlihat bersemangat. Berkali-kali Dina membenarkan lipatan seweknya dengan penuh senyum. Bocah 10 tahun tersebut menjadi satu-satunya penari gandrung yang lolos seleksi ketat dari SDN 3 Tampo.
Bagi Dina, terpilih menjadi peserta dalam Festival Gandrung Sewu adalah prestasi besar. Tak heran, proses seleksinya bisa dibilang ketat. Dari lebih dari tiga ribu pendaftar, hanya 1173 penari yang akhirnya berhak tampil di Pantai Boom Sabtu sore lalu. "Sudah latihan lebih sari setahun. Lomba di Kecamatan Cluring menang, baru diajukan ikut seleksi," ucap Dina lirih sambil tersipu malu.
Kegigihan Dina tersebut patut diacungi jempol. Pasalnya, tidak sedikit teman Dina yang menyerah saat latihan di hari-hari menjelang seleksi. "Latihannya itu sampai malam-malam. Nilai sekolah harus tetap bagus. Jadi teman-teman capek," tandasnya. Rupanya, semangat Dina mengalir dari sang ayah, Budiono, yang juga terus mendukungnya.
Pria paruh baya yang kala itu juga terus menemani Dina sama bahagianya. "Senang sekali akhirnya lolos," ungkap Budiono semringah. "Deg-degan sekali waktu dinilai langsung sama tim produksi yang sudah berpengalaman," imbuhnya. Sempat Dina goyah. Tak percaya diri bisa lolos.
Namun, Budiono senantiasa memotivasi putri semata wayangnya itu. Bahwa gandrung sejatinya bercerita soal perjuangan. "Gandrung itu sejarahnya telik sandi. Kalau gampang menyerah ya jangan harap jadi gandrung sejati," pungkas Budiono.
Tak hanya Dina yang punya kisah sulitnya menaklukkan seleksi Gandrung Sewu. Indi Julia Ridhayul Khasanah punya pengalaman serupa. Gadis 16 tahun itu harus berkali-kali mengalami demam selama proses menuju perhelatan akbar itu. "Saya nggak mau absen. Ini tahun terakhir," ucapnya tegas saat diwawancara Jawa Pos selagi berswafoto dengan kawan-kawannya.
Menurutnya, Tari Gandrung sudah menjadi identitas baginya. Sejak duduk di bangku SD, Indi sudah terpilih dalam Festival Gandrung Sewu. Yakni pada tahun 2012. Kali pertama festival yang kini masuk dalam seratus event pariwisata nasional itu dihelat. "Saya sudah ikut mulai Pak Sumitro (maestro karawitan sekaligus penggagas Festival Gandrung Sewu, Red) yang mengonsep. Jadi bagi saya sudah seperti ulang tahun, acara penting," ujar dara yang kini duduk di bangku kelas XI SMAN 1 Banyuwangi.
Cerita baru dalam festival. Gerakan anyar. Sampai pergantian busana selalu dialaminya. Tiap tahun ada tantangan berbeda-beda. Tapi tahun ini berat. Nyaris Indi tidak jadi ikut berpartisipasi. "Bolak-balik demam sebelum seleksi, sama waktu proses latihan bersama. Sampai 39 derajat," katanya. Sang ibunda, Iin Tulusiyanti, pun sempat khawatir dan melarangnya.
"Saya ketar-ketir. Soalnya nari di festival ini nggak bisa main-main. Fisiknya harus kuat," kata Iin. Durasi tarian sepanjang 42 menit. Ditambah cuaca khas Pantai Boom yang panas dan berdebu menjadi rintangan besar jika stamina sedang kurang fit. Tapi, tahun terakhir ini tak mau disia-siakan Indi. Tahun depan, tak lagi ada kesempatan meresakan kebanggaan menari gandrung secara kolosal. Ditonton tamu-tamu penting sekelas Menteri Pariwisata Arif Yahya.
"Lawan sakitnya dengan tekad. Sudah muntah-muntah, tapi kalau dengar gendingnya gandurng ya langsung pengin nari," tutur Indi lalu terbahak-bahak. Ucapannya disambut candaan kesal dari sang mama. Memang spesial Festival Gandrung Sewu bagi segenap masyarakat Banyuwangi. Bagaimana tidak? Setiap fragmen yang dibawakan selalu membawa tokoh agung yang dicintai.
Dalam kesempatan sore itu, kisah bertajuk Layar Kumendhung dipersembahkan. Cerita tentang perjuangan tiga pangeran Tanah Blambangan melawan penjajah Belanda. Serta tragedi meninggalnya Mas Alit, Bupati Kawitan Bnayuwangi 1774. Tentu, proses latihannya pun tak bisa main-main. "Setiap penari harus tahu arti dari tiap lirik dalam syair. Alurnya. Sejarahnya. Makna sosiologisnya," papar Jajulaidik, salah satu tim produksi Festival Gandrung Sewu.
Oleh karenanya, dia dan sepuluh pelatih utama yang lain mengambil budaya gethok tular. "Pohon faktor. Jadi kami melatih dulu penari senior. Dimatangkan. Nanti mereka melatih lagi di setiap zona," papar pria yang akrab disapa Kang Jul itu. Tahun ini, Kang Jul dan Suko Priyatno, Koordinator Pertunjukkan Festival Gandrung Sewu, merekrut lebih banyak pelatih muda sebagai wujud regenerasi.
"Kadung hang enom ngajeni mestine hang tuwek kudu gelem ngelilani," ujar Kang Jul dalam Bahasa Osing. Artinya: jika kaum muda bisa menghormati, pastinya para sesepuh akan bisa mempercayakan. Maka dari itu, baik pelatih tari maupun panjak, alias pemusik, banyak diisi dari anak-anak muda. Generasi muda Banyuwangi yang mau kembali membantu mengembangkan kesenian daerah mereka.
Kiprah Adlin Mustika Alam misalnya. Cowok yang kini mengeyam pendidikan di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) tersebut dipercaya melatih para panjak. "Saya sudah tiga kali ikut. Tapi tahun ini naik pangkat," katanya lalu terkikik. Sebagai asisten penata musik, Adlin harus mampu membuat gandrung dan musik mennyatu. "Penari dan musik yang dihasilkan panjak harus satu ruh," tandasnya.
Dia mengaku berlatih dalam kelompok-kelompok kecil yang sesuai dengan fragmen yang dibawakan. Namun, dalam Festival Gandrung Sewu, penari dan panjak harus menjiwai satu sama lain. "Disini kami nggak main ketukan atau notasi. Tapi melodi kendang, rebana, saron, dan alat-alat musik lain," paparnya. Sehingga, waktu persiapan kemarin pun mereka melakukan pemanasan dengan akapela. "Hen tak tak hen tak tak hen tak tak, nang ning ning tak ok ok ya," lantun 65 panjak dengan kompaknya.
Comments