Bahasa Using Banyuwangi: Tanpa Kasta, Kaya Logat
- Resvia Afrilene
- Apr 4, 2020
- 5 min read
Kelambi cemeng.
Selular cemeng.
Diumbahno mosok lunturo.
Emak sing demen.
Bapak sing seneng.
Dicegahno mosok munduro.
Bait di atas adalah salah satu pantun tekad yang kerap dilagukan oleh masyarakat Blambangan, Kabupaten Banyuwangi. Menggunakan bahasa daerah asli, yakni Bahasa Using. Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, pantun itu kurang lebih berbunyi seperti ini;
Baju hitam.
Celana hitam.
Dicuci tidak akan pudar.
Bapak tidak suka.
Ibu tidak senang.
Dicegahpun tidak akan mundur.
Pantun di atas memiliki permainan kata yang tak mudah ditebak. Sebab, makna sesungguhnya disiratkan secara implisit. Arti pantun yang terkandung adalah perjuangan cinta dua sejoli yang terhalang restu kedua orang tua. Wujud ketulusan dan keteguhan cinta yang tak akan mundur meski banyak didera permasalahan. Pantun ini juga kini banyak diperdengarkan menjadi lagu dangdut kontemporer, dan tentu saja membuat Bahasa Using makin familier di telinga masyarakat Indonesia.
Jangan salah paham, bukan berarti Bahasa Using hanya digunakan dalam proses akulturasi modern saja. Pada dasarnya, ciri khas Bahasa Using yang kental dengan logat kesukuan juga banyak dipakai dalam bentuk tetembangan. Bukan hanya karena lebih terdengar puitis, namun juga banyak fase kata sastra yang diimbuhkan ke dalamnya.
Perkembangan yang ada saat ini memecah penggunaan Bahasa Using menjadi beberapa sisi. Mulai dari percampurannya dengan Bahasa Jawa ataupun Bahasa Indonesia kedalam sebuah lagu modern. Ada pula yang masih mempertahankan fungsinya sebagai pengantar gending-gending khas Tlatah Blambangan. Nah, sebenarnya seperti apa sejarah perkembangan Bahasa Using? Sejauh mana Bahasa Using masih menjadi primadona di wilayahnya? Serta apa saja ciri khas Bahasa Using yang membuat unik?
Sekilas Sejarah Bahasa Using
Proses dialektika Using sebagai bahasa dapat dibagi dalam lima tahapan. Tahapan pertama yaitu pada masa prasejarah, tahap ini merupakan akar penciptaan Bahasa Using. Istilah 'Using' pertama kali digunakan dalam sebuah kajian tentang sejarah ujung timur Pulau Jawa yang terbit pada 1923. Dalam penelitian cendekiawan asal Belanda C. Lekkerkerker itu juga dideskripsikan mengenai mereka yang disebut 'orang Using'. Dalam tulisannya Lekkerkerker berpendapat bahwa kepribadian, bahasa, dan adat orang Using sangat berbeda dari orang Jawa lainnya.
Kata Using, menurut Lekkerkerker pada penelitian berjudul "Blambangan", yang dimuat dalam De Indische Gids, berasal dari bahasa Bali, Sing yang berarti tidak. Mkasudnya tidak Jawa, Bali, atau Madura.
Pada tahun 1870-an terjadi imigrasi besar-besaran ke daerah Banyuwangi dengan maksud memenuhi kebutuhan pekerja perkebunan. Kelompok ini dianggap dan kemungkinan besar menganggap dirinya orang Jawa di lingkungan pedesaan pada tahun 1970. Mereka juga disebut wong Jawa Using, yaitu orang Jawa yang menggunakan Bahasa Using.
Berbekal dari ketidaksamaan persep tersebut, maka perlu adanya persiapan transformasi untuk menyeragamkan definisi Using. Sehingga pada tahun 1970-an mulai banyak terbentuk kelompok diskusi yang terdiri dari budayawan, sejarahwan, dan sastrawan untuk membahas kaidah Bahasa Using. Lalu akhirnya diadakan pertemuan bertajuk Sarasehan Bahasa Using pada 1990. Adapun hasil yang diperoleh yaitu beberapa makalah penting yang menghasilkan pedoman pengajaran Bahasa Using pertama pada tahun 1997. Pada periode berikutnya, yakni tahun 1997-2002, terbitlah tata bahasa baku, buku pelajaran, dan kamus Bahasa Using-Indonesia yang disusun oleh budayawan Hasan Ali.
Salah satu obsesi Hasan Ali dalam menyelesaikan kamus tersebut sebagai bentuk merawat Bahasa Using. Sebab, kemusnahan Bahasa Using, menurutnya akan bisa menyebabkan musnahnya budaya turunan lain, seperti tari gandrung, kesenian-kesenian tradisonal Using, dan upacara adat lainnya Dirinya juga menjadi salah satu pemateri di Kongres Bahasa Jawa pertama yang diadakan di Semarang pada Juli 1991. Hasan sudah menekankan bahwa Bahasa Using bukan sekadar dialek Bahasa Jawa, melainkan Bahasa daerah tersendiri. Di hadapan ratusan, bahkan ribuan guru, sarjana, dan ahli bahasa Jawa lainnya, Hasan Ali menekankan keistimewaan bahasa Using. Menurutnya bahasa Using berbeda dari bahasa Jawa berasal dari "orang Using sendiri".
Hasil konges ini mengakui bahwa bahasa Using berbeda dari bahasa Jawa. Adapun rekomendasi yang diberikan yakni, bahasa Using boleh diajarkan di pendidikan dasar di Banyuwangi. Hal ini ditindaklanjuti DPRD Banyuwangi mengambil keputusan bulan Agustus tahun 1997 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengizinkan pengajaran bahasa Using dimulai pada bulan November.
Bahasa Tak Kenal Kasta
Salah satu ciri khas Bahasa Using terletak pada logatnya yang unik. Coba pahami kalimat dalam Bahasa Using ini; “cumpu, dhonge didalakaken, iyane sing inguk paran-paran”! Yang berarti; bayangkan, ketika diupayakan jalan, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kalimat padanannya dalam bahasa Jawa kira-kira berbunyi seperti ini; “coba, bareng digolekke dalan, dheweke ora isa apaapa”. Tentu saja kalimat yang sepenuhnya terdiri dari kata yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa. Penulisannya amat berbeda, apalagi cara melafalkannya, terdapat aksen yang berbeda signifikan dari Bahasa Jawa.
Lebih unik lagi karena di setiap area desa di Kabupaten Banyuwangi rupanya memiliki logat yang berbeda-beda untuk melafalkan Bahasa Using. Mulai dari cara bicara mereka, sampai ke penyebutan beberapa jenis makanan yang bisa jadi memiliki persamaan frasa, namun sebenarnya adalah jenis kuliner dengan bahan berbeda. Misalnya rujak soto, dan pecel pitik yang berbeda isinya di satu desa dengan desa yang lain.
Bahasa Using juga berbeda dari Bahasa Jawa karena tak mengenal kasta layaknya Ngoko-Krama. Bahasa Using lebih menekankan pada kepada siapa lawan bicara. Di kalangan masyarakat Using, dikenal dua gaya bahasa yang satu sama lain ternyata tidak saling berhubungan. Yakni Cara Using dan Cara Besiki. Cara Using adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti layaknya Bahasa Jawa umumnya. Yang menjadi pembedanya adalah pronomina yang disesuaikan dengan kedudukan lawan bicara, misalnya:
Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
Dalam hal ini hanya terdapat perbedaan kata untuk menunjukkan subyek, tanpa mengimbuhkan hierarki tertentu. Hiro/Iro digunakan untuk lawan bicara untuk yang lebih muda. Siro digunakan berbicara dengan orang seumuran. Riko digunakan lawan bicara untuk orang yang lebih tua. Sementara itu, Ndiko dipakai lawan bicara untuk orang tua kandung, atau dalam keluarga.
Sedangkan Cara Besiki adalah bentuk "Jawa Halus" yang dianggap sebagai bentuk wicara ideal. akan tetapi penggunaannya tidak seperti halnya masyarakat Jawa, Cara Besiki ini hanya dipergunakan untuk kondisi-kondisi khusus yang bersifat keagamaan dan ritual, selain halnya untuk acara pertemuan menjelang perkawinan.
Kepopuleran Bahasa Using Dulu dan Kini
Eksistensi bahasa bisa jadi tolak ukur terpenting bagi sebuah peradaban. Keberadaannya tak hanya bentuk identitas kebudayaan tertentu. Namun lebih dari itu, cerita historis, nilai luhur, serta keberlangsungan komunitas kultur pun disangga oleh eksistensi bahasa. Demikian halnya dengan Bahasa Using yang dikenal sebagai bahasa daerah Kabupaten Banyuwangi. Dalam kesehariannya masyarakat Osing selalu berkaitan dengan gesah. Gesah atau mengobrol, adalah proses perbincangan dua orang yang saling mengenal berpapasan di jalan dapat berhenti cukup lama untuk saling menyapa dan melakukan gesah dengan Bahasa Using.
Orang Using berpegang teguh pada sikap gotong royong yang disebut melabot. Seperti didaerah lain yaitu rewang di Jawa Tengah, saat terjadi kerepotan di rumah salah seorang warga maka orang-orang akan datang memberikan bantuan baginya baik bersifat barang maupun tenaga. Melabot menjadi norma mewajibkan. Orang Using berempati pada saudaranya yang sedang memerlukan bantuan melalui bergotong royong. Sedangkan melabot di Kemiren dengan karakteristik wanita dan pria dan melingkupi hal yang lebih luas. Adanya potensi melabot sebagai sebuah ruang publik sehingga menumbuhkan secara tidak langsung komunikasi dalam berbahasa daerah. Karena pada dasarnya melabot memilki ikatan yang kuat dan arus aliran informasi, terutama lewat gesah di Kemiren.
Meningkatnya perekonomian wilayah Banyuwangi berbanding linier dengan makin akrabnya Bahasa Using di telinga masyarakat Indonesia. Namun, seiring dengan metode modernisasi yang membawa Bahasa Osing makin dikenal, rupanya terdapat kekhawatiran tersendiri jika Bahasa aslinya akan punah di daerah asalnya. Pasalnya, percampuran bahasa kerap kali menggerus kosakata Using yang lebih orisinil. Selain itu, pola asuh dalam keluarga juga memengaruhi seberapa besar proses infiltrasi Bahasa Using kepada keturunan atau generasi berikutnya. Salah seorang panjak, pemain musik daerah Banyuwangi, Adlin Mustika, bahkan menyebutkan bahwa kepopuleran Bahasa Using di kalangan muda tinggal 20 persen saja.
Menurutnya, yang masih banyak menggunakan Bahasa tersebut hanyalah kalangan pemerintahan dalam rangka promosi pariwisata-budaya. Jika bukan begitu tentu masih kental di golongan pegiat seni-budaya. Selebihnya, akan sulit menemui kalangan yang paham falsafah dan nilai-nilai luhur dalam banyak kata Bahasa Using kuno. Terlebih lagi kandungan sastra yang bisa jadi hanya dimengerti orang-orang yang berkecimpung disana. Sehingga, proses ruwat-rawat akan Bahasa Using harus digencarkan lagi. Bukan hanya dengan memakainya dalam bahsa sehari-hari, namun juga memaknai setiap arti linguistik didalamnya.

Comments